di Vechta: September 2005

Dienstag, September 27, 2005

Pamit

Ini adalah postingan saya yang terakhir dari Vechta. Dua hari lagi kita akan terbang, pulang kembali ke Indonesia. Mohon doanya agar perjalanan kita lancar dan sampai di Indonesia dengan selamat.

Saya mohon maaf lahir dan batin jika ada kesalahan yang disengaja ataupun tidak selama berinteraksi dengan teman-teman semua. Salah interpretasi, salah ketik, salah klik dan lain sebagainya.

Sekali lagi terima kasih atas dukungannya....

Montag, September 12, 2005

:-)

Gambar disamping adalah sesaat setelah Bapak dinyatakan lulus setelah sekitar 1,5 jam mempertahankan disertasinya. Hanya empat orang penguji yang sempat diabadikan, yaitu (dari kiri ke kanan) Prof. M. Ehlers (Uni Osnabruek), PD Dr. J. Schiewe (Uni Bonn), Prof. O. Peithmann (Uni Vechta), Prof. G Turowski (ehem. Uni Dortmund) sedangkan penguji yang satu lagi Prof. W. Schroeder (Uni Vechta) sudah meninggalkan tempat karena ada urusan lain.

Alhamdulillah, akhirnya sampai juga kita pada hari ini. Setelah semuanya selesai, baru terasa bahwa empat tahun telah begitu cepat berlalu. Empat tahun yang luar biasa. Suka, duka, sedih, gembira... di tempat asing yang betul-betul jauh dari rumah dan sanak keluarga.

Ada satu hal yang berkesan pada saya, yaitu tentang nilai. Di sini berbeda/terbalik dengan di Indonesia. Nilai A di Indonesia adalah nilai tertinggi dengan bobot 4. Sedangkan nilai tertinggi di sini adalah 1. Jadi inget, dulu kalau ada temen dapet IP satu koma suka diledekin punya IP rapido... hehe....

Sedangkan seseorang dinyatakan lulus dengan yudisium

  • Summa Cum Laude (ausgezeichnet) jika nilai komulatifnya 0 sampai 0,50
  • Magna Cum Laude (sehr gut) jika nilai komulatifnya 0,51 sampai 1,50
  • Cum Laude (gut) jika nilai komulatifnya 1,51 sampai 2,50
  • Rite (genügend) jika nilai komulatifnya 2,51 sampai 3,0

Dengan catatan, nilai dibawah 1 hanya untuk prestasi yang sangat luar biasa dan sangat jarang sekali terjadi. Mungkin diperlukan prestasi yang luar biasa ya?

-----

Untuk teman-teman semua, mohon maaf jika akhir-akhir ini saya jarang sekali blogwalking. Ternyata banyak sekali yang harus kita selesaikan, sedangkan waktunya demikian mepet antara ujiannya suBapak dengan waktu pulang.

Saya ucapkan terima kasih yang tak terhingga atas doa dan dukungan teman-teman semua (tercermin dari komentar di dua postingan terakhir) juga dari email dan telepon yang masuk pada saya. Semoga segala kebaikan teman-teman semua mendapat balasan berlipat ganda dari Allah SWT. Amien.

Mittwoch, September 07, 2005

Beda Pola

Saya ingat sebuah cerita:
Di hari pertama kepulangannya, Riri disambut neneknya dengan penuh rindu. Nenek mana yang tidak bangga, cucu yang paling disayanginya lulus dari universitas terkemuka di Amerika. Riri pun tidak kalah senangnya bertemu kembali dengan nenek yang sangat dicintainya itu. Kalimat pertama yang keluar dari mulut Riri, "Nenek sampai kapan ada di Jakarta?". Nenek sangat tersinggung dengan pertanyaan Riri. Dalam hati nenek mengeluh, "Baru saja datang, sudah ditanya kapan pulang. Apa tidak senang dirindui dan ditengok neneknya ini?".

Adakah yang salah di sini? Setelah saya mengalami sendiri hidup di sini, saya baru tahu ada kesalahpahaman di kejadian itu.

  • Dari sudut pandang nenek, beliau tentu sangat tersinggung. Baru saja datang, sudah ditanya kapan pulang. Seolah kedatangannya tidak diharapkan. Hal ini pula yang membuat nenek cepat-cepat pulang ke Jogja.
  • Bagaimana dengan Riri? Tentu dia sangat kecewa karena nenek hanya sebentar di Jakarta. Riri tidak tahu pertanyaannya itu yang membuat nenek merasa diusir. Riri sudah terbiasa mengatur jadwalnya dengan detil sejak jauh-jauh hari sebelumnya. Maksud Riri, dengan tahu sampai kapan nenek ada di Jakarta, dia akan mengubah jadwalnya untuk lebih lama menemani nenek di rumah

Hal yang lain:
Bila kita mendapat hadiah dari seseorang, apa yang akan kita lakukan? Biasanya setelah pemberi hadiah itu pulang, baru kita membuka hadiahnya bukan? Sangat tidak sopan membuka hadiah saat itu juga di depan si pemberi (mungkin anak-anak sebagai perkecualian).Tapi di sini, hadiah itu harus dibuka di depan si pemberi. Tidak sopan jika kita hanya menerima kemudian menyimpannya untuk dibuka nanti. Kesannya kita tidak suka dengan pemberiannya itu. Si pemberi tidak akan tersinggung jika pemberiannya diterima dengan biasa-biasa saja (meski kadang bilang suka itu hanya basa basi saja). Tapi si pemberi akan dengan senang hati menjelaskan jika kita menanyakan apa sebenarnya fungsi dari benda yang dihadiahkan itu jika kita tidak tahu.

Saya sendiri sekarang merasa aneh, ketika memasak lebih dan makanan itu saya bagi pada seorang teman tapi oleh teman saya tidak disentuh atau dibiarkan begitu saja. Kesan saya, teman saya itu tidak suka dengan makanan pemberian saya. Hal ini karena saya sudah terbiasa, jika membagi makanan pada tetangga sebelah mereka langsung mencicipi. Ekspresinya jelas, kalau enak dia bilang enak. Kalau tidak enak dia bilang, “…mm, rasanya agak aneh di lidah saya”. Dan saya pun tidak akan tersinggung.

Lain padang lain belalang
Lain lubuk lain pula ikannya.

Hal-hal begini sepertinya sepele, tapi tentu tidak enak jika sudah menyakiti hati orang lain. Yang menyulitkan, kita tidak tahu bahwa itu menyakiti hati orang lain, karena yang disakiti hatinya biasanya hanya diam saja.

Semoga sekembalinya kita di Indonesia nanti tidak mengalami hal-hal seperti ini. Semoga kita bisa beradaptasi kembali dengan ‘pola lama’. Yah, mungkin perlu beberapa modifikasi untuk menjembataninya.

Kalau teman-teman punya pengalaman seputar beda pola seperti ini, boleh dong dibagi untuk menambah bekal pulang nanti. Terima kasih…

Freitag, September 02, 2005

Saya Pikir

Kalimat ‚Saya Pikir’ ini mengingatkan saya pada Kertarajasa di film Petualangan Sherina, „Saya pikir... saya pikir... kamu itu selalu berpikir tapi selalu salah... tahu?!“. Wah, semoga saya tidak seperti Upay, yang selalu berpikir tapi selalu salah di mata Kertarajasa.

Seperti halnya Sherina yang di film itu bersedih karena harus pindah dari Jakarta ke Bandung mengikuti orang tuanya, Fariz juga kelihatan enggan untuk pulang ke Indonesia. Saya pikir, kita ini tidak pindah, melainkan pulang. Mengapa Fariz tidak suka?

hatiku sedih, hatiku gundah,
tak ingin pergi berpisah
hatiku bertanya, hatiku curiga,
mungkinkah ku temui kebahagiaan
seperti di sini...

Saya pernah membaca, memory seseorang akan menetap kurang lebih setelah dia berumur 5 tahun. Kurang dari umur 5 tahun hampir tidak ada. Fariz pertama kali datang ke Jerman berumur 5 tahun 3 bulan. Jadi memory dia sebelum itu tentu sudah banyak yang terhapus. Memory tentang suasana, teman-teman, dan saudara-saudara di Indonesia hampir tidak tersisa. Yang Fariz ingat hanyalah apa yang pernah dan sedang dia hadapi di sini. Ada empat musim dalam setahun, siang yang panjang selama musim panas, siang yang pendek selama musim dingin, salju dengan segala kesenangannya, teman-temannya, sekolahnya, Spielplatz, hutan, bersepeda, berlari, berjalan, berbicara... Hampir seluruh aspek kehidupan dia adalah Vechta. Hampir, belum semua. Saya masih suka berbahasa Indonesia dengan dia dan dia masih makan makanan Indonesia. Tapi itu hanya sebagian kecil. Saya pikir, wajar dia enggan meninggalkan Vechtanya ini.

tempat yang nyaman
kala ku terjaga
dalam tidurku yang lelap

Tapi apa sebenarnya yang dipikirkan Fariz?

Dia khawatir, di Indonesia nanti dia akan diejek bahwa orang Jeman (bukannya mengatasnamakan dirinya orang Jerman, tapi orang yang hanya bisa berbahasa Jerman) itu bodoh, tidak mengerti bahasa Indonesia. Ditambah banyaknya pe-er dari sekolah, takut diejek karena hitam dan satu lagi... mandi dua kali sehari.

Saya pikir, alasannya lucu. Tapi sangat tidak lucu bagi dia bukan? Dia memang tidak menguasai bahasa Indonesia secara aktif. Saya berbicara bahasa Indonesia, dia merespon dalam bahasa Jerman. Dan kita pun sering ‘bertengkar’ hanya karena sama-sama tidak mengerti apa yang dibicarakan. Saya tidak menangkap maksud dia, dan dia tidak mengerti maksud saya. Saya tahu, seperti itu salah. Sudah terlanjur…

Dia tidak habis pikir, bagaimana mungkin pulang sekolah waktunya habis untuk mengerjakan pe-er. Kapan waktu untuk bermain? Anak kecil kan harus banyak gerak, bukannya duduk terus-menerus untuk mengerjakan pe-er. Tidak sehat katanya. Betul juga. Alasan itu juga yang pernah saya katakan padanya ketika dia sepanjang hari duduk di depan teve. Saya pikir, yang ini nanti sajalah kalau sudah di Indonesia, ketika dia sudah mulai menjalani rutinitasnya.

Soal hitam, di sekolahnya dia memang masuk kategori berkulit gelap. Di rumah pun, kebetulan dia pula yang paling gelap kulitnya. Ah, berbeda itu kadang tidak menyenangkan bukan? Saya pikir, saya saja kadang merasa begitu apalagi Fariz?

Alasan terakhir, bukan karena Fariz takut air, tapi karena malas. Memang sulit menyuruh Fariz mandi. Sama sulitnya menyuruh dia berhenti mandi. Air memang selalu menyenangkan untuk anak-anak. Saya pikir yang ketiga ini tidak sulit diatasi. Barangkali dia lupa, tidak mandi berarti menjadi santapan enak bagi nyamuk-nyamuk di sana. Hiii….

Saya pikir, saya masih punya sedikit waktu untuk menyelesaikan, memberi pengertian dan memberi penghiburan pada Fariz.

Janganlah sedih, janganlah resah
Jangan terlalu cepat berprasangka
janganlah gundah, janganlah resah,
lihat segalanya lebih dekat
dan kau bisa menilai
lebih bijaksana...