di Vechta: Beda Pola

Mittwoch, September 07, 2005

Beda Pola

Saya ingat sebuah cerita:
Di hari pertama kepulangannya, Riri disambut neneknya dengan penuh rindu. Nenek mana yang tidak bangga, cucu yang paling disayanginya lulus dari universitas terkemuka di Amerika. Riri pun tidak kalah senangnya bertemu kembali dengan nenek yang sangat dicintainya itu. Kalimat pertama yang keluar dari mulut Riri, "Nenek sampai kapan ada di Jakarta?". Nenek sangat tersinggung dengan pertanyaan Riri. Dalam hati nenek mengeluh, "Baru saja datang, sudah ditanya kapan pulang. Apa tidak senang dirindui dan ditengok neneknya ini?".

Adakah yang salah di sini? Setelah saya mengalami sendiri hidup di sini, saya baru tahu ada kesalahpahaman di kejadian itu.

  • Dari sudut pandang nenek, beliau tentu sangat tersinggung. Baru saja datang, sudah ditanya kapan pulang. Seolah kedatangannya tidak diharapkan. Hal ini pula yang membuat nenek cepat-cepat pulang ke Jogja.
  • Bagaimana dengan Riri? Tentu dia sangat kecewa karena nenek hanya sebentar di Jakarta. Riri tidak tahu pertanyaannya itu yang membuat nenek merasa diusir. Riri sudah terbiasa mengatur jadwalnya dengan detil sejak jauh-jauh hari sebelumnya. Maksud Riri, dengan tahu sampai kapan nenek ada di Jakarta, dia akan mengubah jadwalnya untuk lebih lama menemani nenek di rumah

Hal yang lain:
Bila kita mendapat hadiah dari seseorang, apa yang akan kita lakukan? Biasanya setelah pemberi hadiah itu pulang, baru kita membuka hadiahnya bukan? Sangat tidak sopan membuka hadiah saat itu juga di depan si pemberi (mungkin anak-anak sebagai perkecualian).Tapi di sini, hadiah itu harus dibuka di depan si pemberi. Tidak sopan jika kita hanya menerima kemudian menyimpannya untuk dibuka nanti. Kesannya kita tidak suka dengan pemberiannya itu. Si pemberi tidak akan tersinggung jika pemberiannya diterima dengan biasa-biasa saja (meski kadang bilang suka itu hanya basa basi saja). Tapi si pemberi akan dengan senang hati menjelaskan jika kita menanyakan apa sebenarnya fungsi dari benda yang dihadiahkan itu jika kita tidak tahu.

Saya sendiri sekarang merasa aneh, ketika memasak lebih dan makanan itu saya bagi pada seorang teman tapi oleh teman saya tidak disentuh atau dibiarkan begitu saja. Kesan saya, teman saya itu tidak suka dengan makanan pemberian saya. Hal ini karena saya sudah terbiasa, jika membagi makanan pada tetangga sebelah mereka langsung mencicipi. Ekspresinya jelas, kalau enak dia bilang enak. Kalau tidak enak dia bilang, “…mm, rasanya agak aneh di lidah saya”. Dan saya pun tidak akan tersinggung.

Lain padang lain belalang
Lain lubuk lain pula ikannya.

Hal-hal begini sepertinya sepele, tapi tentu tidak enak jika sudah menyakiti hati orang lain. Yang menyulitkan, kita tidak tahu bahwa itu menyakiti hati orang lain, karena yang disakiti hatinya biasanya hanya diam saja.

Semoga sekembalinya kita di Indonesia nanti tidak mengalami hal-hal seperti ini. Semoga kita bisa beradaptasi kembali dengan ‘pola lama’. Yah, mungkin perlu beberapa modifikasi untuk menjembataninya.

Kalau teman-teman punya pengalaman seputar beda pola seperti ini, boleh dong dibagi untuk menambah bekal pulang nanti. Terima kasih…