di Vechta: Satu lagi...

Freitag, August 26, 2005

Satu lagi...

"Ibuuuk, telepon...!!" seru anak saya lantang dari ruang tengah.

"Halo, selamat sore..." salam saya setelah meraih gagang telepon.

"Halo Pipin, ini Wantanee!" sambut teman saya kursus bahasa dengan ceria.

Tumben sekali dia telepon sore-sore.

"Begini, saya punya teman di Muenchen, dari Thailand juga seperti saya. Barusan dia telepon, katanya menemukan orang Indonesia di hotel M tempatnya bekerja. Tapi orang itu nggak bisa bicara bahasa Jerman maupun Inggris, bisanya hanya bahasa Indonesia. Teman saya tanya, barangkali saya punya teman dari Indonesia. Gimana, kamu mau membantu kan?" pintanya setelah bercerita panjang lebar.

"Tentu saja", sahut saya cepat tanpa berpikir panjang.

"Ok, tunggu sebentar ya... nanti teman saya itu akan menghubungi kamu", jawab Wantanee sebelum menutup telepon.

Hmm, ada apa ya? Tersesat di Muenchen? Ah, nggak mungkin. Rasanya mustahil, berada di Jerman tapi tidak bisa berbahasa Jerman maupun Inggris. Belum selesai saya mereka-reka kejadian di sana, telepon kembari berdering.

"Kriiing!!".

"Selamat sore", sambut saya cepat.

"Selamat sore, saya Sunantha, teman dari Wantanee. Saya menemukan seorang wanita terkurung di dalam kamar hotel tempat saya bekerja dalam keadaan menyedihkan. Saya kira dari Filipina atau Thailand, ternyata dari Indonesia. Dia hanya bisa berbicara bahasa Indonesia. Saya kasihan, tapi juga bingung menghadapinya. Tolong anda tanya ya, dia bagaimana dan membutuhkan apa".

"Ya...", jawab saya pendek penuh keheranan.

Tidak lama kemudian terdengar ratapan dan tangis pilu dari seberang sana. "Mbaak... tolong saya Mbaak... Saya ini TKI, kerja di Qatar, majikan saya kejam. Saya nggak tahan lagi... huuuuhuuu... tolong saya ya Mbak, toloong...".

"Uh, ah, eh...", mendadak lidah saya kelu. Aduh, bagaimana ini? Beberapa kali saya menghela napas, mencoba menenangkan diri. "Mbak... Mbak ini namanya siapa? Asalnya dari mana?" tanya saya hati-hati. Hhh... barangkali dia TKI yang menjadi korban seperti yang sering saya baca di koran-koran tanah air. Tapi berhadapan langsung dan dimintai tolong seperti ini, sungguh saya tidak siap.

Terbata-bata sambil sesekali terisak menahan tangis, dia mulai bercerita.

Bernama Julaeha, 35 tahun, berasal dari Sumedang. Bersama suaminya yang hanya buruh tani musiman dan berpenghasilan tujuh ribu rupiah sehari dikaruniai dua orang anak. Sekarang kelas 6 dan kelas 2 SD, keduanya dititpkan di tempat kakak Julaeha. Berusaha memenuhi kebutuhan keluarga, Julaeha menjadi TKI. Dua tahun kontrak pertamanya di Arab Saudi dilaluinya dengan lancar. Keluarga dengan dua orang anak yang menjadi majikannya ini sangat baik.

Merasa kehidupannya menjadi lebih baik, Julaeha kembali menandatangi kontrak untuk dua tahun berikutnya. Ditempatkan di Qatar. Kali ini majikannya tidak sebaik sebelumnya. Sebuah keluarga dengan delapan orang anak, lima laki-laki dan tiga perempuan. Kerja terus menerus tanpa henti, caci maki, dan kadang pelecehan seksual diterimanya hampir setiap hari. Selalu dikurung di rumah dengan alasan supaya tidak kabur (5 orang TKI sebelumnya selalu kabur karena tidak tahan perlakuan keluarga itu). Badannya kian kurus, selain penderitaan batin juga karena tidak pernah diberi makan. Yang dia makan hanyalah sisa-sisa makanan majikannya.

Yang dia inginkan sekarang adalah kabur. Lari dari hotel tempatnya menginap mumpung majikannya sedang keluar, kemudian mencari induk semang baru. Belakangan setelah mendengar anak saya menangis karena digoda kakaknya dia ngotot ingin ikut saya saja. Segala penjelasan saya tidak digubrisnya lagi. Juga ketika saya katakan bahwa jarak Muenchen dengan kota tempat saya tinggal sangat jauh. Lebih dari tujuh jam perjalanan menggunakan ICE, kereta paling cepat di Jerman.

Karena Paspor ditahan majikannya, tidak mungkin dia keluar tanpa indentitas. Juga hal yang tidak mungkin untuk mencari kerja di Jerman. Menjadi pekerja gelap lebih mustahil lagi. Sekitar dua atau tiga hari lagi majikan dan keluarganya nya melanjutkan liburan mereka ke London. Julaeha sendiri akan dipulangkan di Qatar. Saya sarankan turuti saja pulang ke Qatar. Nanti di sana minta tolong majikan teman baiknya (di Qatar Jualeha punya teman baik bernama Muslimah) untuk menelpon ke KBRI Qatar. Minta perlindungan.

Dia menolak keras. Pertama, kalau majikannya tahu dia bisa dihajar. Kedua, dia tidak mau pulang ke Indonesia karena semua biro jasa pemberangkatan TKI banyak yang tutup. Sedangkan dia masih ingin terus bekerja, mencari uang.

Sulit. Saat itu dia tidak memegang uang sepeserpun. Gajinya yang 600 real sebulan itu sudah tiga bulan tidak dibayarkan. Kalau dia kabur, bagaimana hidupnya nanti?

Begitulah, hampir dua jam Julaeha dan Ibu Sunantha bergantian berbicara dengan saya. Dengan bahasa Jerman pas-pasan, saya mencoba menjadi jembatan komunikasi mereka.

-------------------------

Di usianya yang ke 60, Indonesia masih luput memperhatikan Julaeha dan puluhan bahkan mungkin ratusan Julaeha-Julaeha lainnya. Orang-orang yang terpaksa berpisah dengan keluarga untuk bekerja di tempat yang jauh... dan bukan di negrinya sendiri.

Ibu Sunantha yang bukan orang Indonesia saja begitu peduli menolong sesamanya. Hanya karena sama-sama perempuan, sama-sama seorang ibu. Telepon itupun atas fasilitas Ibu Sunantha. Sedangkan saya? Apa yang bisa saya perbuat untuk menolong Julaeha? Rasa sedih, kesal, dan marah bergejolak keras di dada. Menyesali ketidakberdayaan ini.

Belakangan saya tahu, setelah suami saya mengabarkan berita ini ke sebuah mailing list yang anggotanya mayoritas mahasiswa Indonesia di Jerman, respon mereka positif. Ada beberapa orang yang kebetulan tinggal di Muenchen bersedia membantu. Semoga Julaeha mendapat pertolongan semestinya. Minimal mendapat penghiburan. Syukur bisa lebih dari itu.

Maafkan saya Julaeha, sedih sekali tidak bisa berbuat apa-apa...


Catatan: Sebuah kejadian nyata yang saya alami beberapa hari yang lalu..