di Vechta: Saya Pikir

Freitag, September 02, 2005

Saya Pikir

Kalimat ‚Saya Pikir’ ini mengingatkan saya pada Kertarajasa di film Petualangan Sherina, „Saya pikir... saya pikir... kamu itu selalu berpikir tapi selalu salah... tahu?!“. Wah, semoga saya tidak seperti Upay, yang selalu berpikir tapi selalu salah di mata Kertarajasa.

Seperti halnya Sherina yang di film itu bersedih karena harus pindah dari Jakarta ke Bandung mengikuti orang tuanya, Fariz juga kelihatan enggan untuk pulang ke Indonesia. Saya pikir, kita ini tidak pindah, melainkan pulang. Mengapa Fariz tidak suka?

hatiku sedih, hatiku gundah,
tak ingin pergi berpisah
hatiku bertanya, hatiku curiga,
mungkinkah ku temui kebahagiaan
seperti di sini...

Saya pernah membaca, memory seseorang akan menetap kurang lebih setelah dia berumur 5 tahun. Kurang dari umur 5 tahun hampir tidak ada. Fariz pertama kali datang ke Jerman berumur 5 tahun 3 bulan. Jadi memory dia sebelum itu tentu sudah banyak yang terhapus. Memory tentang suasana, teman-teman, dan saudara-saudara di Indonesia hampir tidak tersisa. Yang Fariz ingat hanyalah apa yang pernah dan sedang dia hadapi di sini. Ada empat musim dalam setahun, siang yang panjang selama musim panas, siang yang pendek selama musim dingin, salju dengan segala kesenangannya, teman-temannya, sekolahnya, Spielplatz, hutan, bersepeda, berlari, berjalan, berbicara... Hampir seluruh aspek kehidupan dia adalah Vechta. Hampir, belum semua. Saya masih suka berbahasa Indonesia dengan dia dan dia masih makan makanan Indonesia. Tapi itu hanya sebagian kecil. Saya pikir, wajar dia enggan meninggalkan Vechtanya ini.

tempat yang nyaman
kala ku terjaga
dalam tidurku yang lelap

Tapi apa sebenarnya yang dipikirkan Fariz?

Dia khawatir, di Indonesia nanti dia akan diejek bahwa orang Jeman (bukannya mengatasnamakan dirinya orang Jerman, tapi orang yang hanya bisa berbahasa Jerman) itu bodoh, tidak mengerti bahasa Indonesia. Ditambah banyaknya pe-er dari sekolah, takut diejek karena hitam dan satu lagi... mandi dua kali sehari.

Saya pikir, alasannya lucu. Tapi sangat tidak lucu bagi dia bukan? Dia memang tidak menguasai bahasa Indonesia secara aktif. Saya berbicara bahasa Indonesia, dia merespon dalam bahasa Jerman. Dan kita pun sering ‘bertengkar’ hanya karena sama-sama tidak mengerti apa yang dibicarakan. Saya tidak menangkap maksud dia, dan dia tidak mengerti maksud saya. Saya tahu, seperti itu salah. Sudah terlanjur…

Dia tidak habis pikir, bagaimana mungkin pulang sekolah waktunya habis untuk mengerjakan pe-er. Kapan waktu untuk bermain? Anak kecil kan harus banyak gerak, bukannya duduk terus-menerus untuk mengerjakan pe-er. Tidak sehat katanya. Betul juga. Alasan itu juga yang pernah saya katakan padanya ketika dia sepanjang hari duduk di depan teve. Saya pikir, yang ini nanti sajalah kalau sudah di Indonesia, ketika dia sudah mulai menjalani rutinitasnya.

Soal hitam, di sekolahnya dia memang masuk kategori berkulit gelap. Di rumah pun, kebetulan dia pula yang paling gelap kulitnya. Ah, berbeda itu kadang tidak menyenangkan bukan? Saya pikir, saya saja kadang merasa begitu apalagi Fariz?

Alasan terakhir, bukan karena Fariz takut air, tapi karena malas. Memang sulit menyuruh Fariz mandi. Sama sulitnya menyuruh dia berhenti mandi. Air memang selalu menyenangkan untuk anak-anak. Saya pikir yang ketiga ini tidak sulit diatasi. Barangkali dia lupa, tidak mandi berarti menjadi santapan enak bagi nyamuk-nyamuk di sana. Hiii….

Saya pikir, saya masih punya sedikit waktu untuk menyelesaikan, memberi pengertian dan memberi penghiburan pada Fariz.

Janganlah sedih, janganlah resah
Jangan terlalu cepat berprasangka
janganlah gundah, janganlah resah,
lihat segalanya lebih dekat
dan kau bisa menilai
lebih bijaksana...