di Vechta: April 2005

Freitag, April 29, 2005

Jika cuaca cerah

"Mami, darf ich nach draussen spielen?".
Sudah sejak tadi siang anak-anak ribut pengen main di luar.
"Mami... darf ich bitte nach draussen spielen?" pinta mereka kembali.
Sore ini cuaca cerah, ada matahari. Anak-anak, kalau sudah main di luar pasti susaaah banget disuruh masuk. Apalagi siangnya sudah semakin panjang (saat ini Magrib pk 20.42). Suhunya sudah lumayan anget sih, cuma masih berangin. Jadinya ya masih dingin juga...
Akhir-akhir ini kita mulai mempersiapkan anak-anak pulang ke Indonesia September nanti. Yang berhasil dikomporin baru Faza. Ketemu siapa saja dia pasti cerita kalau mau pulang ke Indonesia. Katanya, di sana enak... Sommer terus. Tiap hari bisa piknik, main di luar dan makan es krim. Hihi... kayak yang udah pernah aja Za...
note: Kalau ngomong Jerman, Faza memanggil saya Mami. Kalau pake basindo tetep wae Ibuk...

Montag, April 25, 2005

Namanya juga anak-anak...

Pengajian rutin bulan ini diselenggarakan Sabtu kemarin di kediaman keluarga Bapak Masbukin di Heinrich-Schulz-Strasse Bremen. Sekaligus memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW. Cuaca sangat cerah, tidak heran jika selepas makan siang anak-anak sudah tidak sabar untuk bermain di luar. Beberapa saat kemudian terdengar tangis seorang gadis cilik. Fiqa terjatuh dari ayunan. Sepertinya 'hanya' jatuh. Tapi anak ini terus menerus menangis kesakitan sambil memegangi tangannya. Kasihan, sepertinya sakit sekali. Karena tidak kunjung reda tangisnya, juga karena tangannya tidak boleh disentuh (jika tersentuh sedikit saja dia menjerit kesakitan), diputuskan segera dibawa ke dokter. Masya Allah, lengannya patah... dan langsung dioperasi hari itu juga. Adik Fiqa, semoga lekas pulih ya kesehatannya. Semoga keceriaanmu segera hadir seperti sedia kala. Amien.
Namanya juga masih anak-anak. Pola pikirnya masih sangat simpel. Masih sulit bagi mereka untuk menjaga dirinya sendiri. Dunia anak-anak adalah dunia yang penuh warna-warni ceria. Segala ingin dicoba, semua ingin dilakukan. Memuaskan segala rasa keingintahuan. Bertanya apa ini, apa itu. Memegang (kompor panas), menangkap (lebah), merasai (cabe rawit merah), menaiki (kucing) dan masih banyak lagi 'kegiatan' si kecil yang kadang membahayakan dirinya sendiri.
Seperti halnya Faza. Pernah suatu kali, saat saya jemput di Kindergarten matanya merah dan berair, ada sedikit luka di bagian putihnya. Gurunya bilang mata Faza terkena sesuatu. Belakangan Faza cerita kalau dia blusukan ke semak-semak. Karena musim gugur, semak itu tinggal rantingnya saja. Trus, kenapa masuk ke semak-semak Za? Jawabannya hanya angkat bahu, kepengen aja katanya... Atau saat Faza kejar-kejaran dengan Fariz. Saking semangatnya tidak bisa berbelok, menabrak pinggiran meja. Bukan hanya memar, di dahinya terbentuk sebuah kawah kecil... Atau ketika di Madurodam, jatuh di arena mini Schipol. Di dahinya tumbuh sebutir telur ayam kampung. Owalah naaak, seperti apa itu sakitnya...
Belum lama, teman Faza juga jatuh dari ketinggian hampir 2 meter. Di halaman Kindergarten ada rumah-rumahan kayu. Lantainya dibuat lubang dengan diameter ca. 1 m dan di tengahnya terpasang sebatang besi untuk luncuran seperti di pemadam kebakaran. Biasanya selalu ditutup karena tidak semua anak bisa memposisikan diri dengan aman untuk meluncur kebawah. Entah kenapa, hari itu tutup tersebut dibuka. Kasihan sekali, setelah jatuh (perutnya terlebih dahulu) dia sampai tidak bisa bersuara atau menangis. Setelah dibawa ke dokter, ternyata tidak ada hal yang perlu dikuatirkan. Syukurlah...
Atau saya sendiri pada saat umur 1 tahun. Waktu itu menjelang tidur siang. Selesai minum, saya BAB. Ibu sudah kembali ke dapur, karena setelah minum biasanya saya akan tidur. Sambil mengantuk saya berdiri dan jatuh dari Kinderbett. Pertama kepala membentur tempat tidur utama, kedua membentur lantai. Malam harinya suhu tubuh meninggi, diiringi muntah-muntah. Dibawa ke UGD, benar... gegar otak ringan. Harus menginap beberapa hari di RS. Akibatnya kepala saya peyang sampai sekarang hehe...
Tingkah laku anak-anak memang sulit diduga. Dilarangan seperti disuruh. Kesannya menjadi lebih menantang. Misalnya menaiki perosotan dari sisi miringnya, ayunan sambil berdiri, bersepeda sambil melepas stang, melongok keluar dari jendela/balkon lantai atas, dsb.
Seperti Fariz, jika sedang bersepeda tidak bisa diajak bicara. Konsentrasinya hilang. Jika bersepeda bersama temannya, meski sering diingatkan untuk konsentrasi, tetap saja sambil bergurau. Sering dia menabrak sepeda di depannya, pernah menabrak semak-semak, pernah menabrak rambu lalu lintas, bahkan pernah juga menabrak orang yang sedang berjalan dari belakang. Aduuuh, kita sampai minta maaf berkali-kali... untung orangnya baik, tidak mempermasalahkan apa-apa (padahal sakit juga lho, wong dia mengelus-elus kakinya terus).
Di sini anak-anak adalah raja. Segala tingkah lakunya benar adanya. Jika anak-anak tiba-tiba nyelonong ke jalan dan tertabrak kendaraan, si anak tidak bersalah. Tidak heran, jika di trotoar tiba-tiba Faza berlari, dari jauh pengendara mobil mengurangi kecepatan. Mengantisipasi jika si kecil ini tiba-tiba berbelok ke arah jalan.
Seperti cerita teman. Anaknya bermain sepeda dengan anak tetangga. Karena tidak bisa mengerem, sepedanya menabrak sebuah mobil yang diparkir di dekatnya, mobil baru lagi.... Teman bulenya ini kemudian masuk ke rumah dan keluar lagi bersama ayahnya. Rupanya ayahnya pemilik mobil itu. Tunggu punya tunggu, ternyata si pemilik mobil tidak juga kunjung datang untuk meminta ganti rugi mobilnya yang tergores dan penyok itu. Ketemu di jalan juga biasa saja, seperti tidak terjadi apa-apa. Ah, namanya juga masih anak-anak... belum bisa kira-kira.
Anak-anak, sampai kapankah mereka bisa disebut anak-anak? Pada posisi sebagai orang tua, apakah selamanya anak-anak kita akan selalu menjadi 'anak-anak'? Sampai umur berapakah kita benar-benar tega melepaskan mereka, mempercayai mereka? Jika beberapa tahun yang akan datang, anak-anak meminta ijin untuk naik gunung apakah saya akan mengijinkan? Sudah banyak buku dibaca, sudah banyak cerita didengar, tapi rasanya tidak semudah itu untuk melepas mereka sendirian (hehe... ibuk-ibuk, bawaannya kuatir melulu...).
Ah, saya jadi ingat ibu. Meski saya anak perempuan satu-satunya, beliau tidak pernah melarang saya untuk berkemah, naik gunung, canoeing (beliau tahu benar saya tidak bisa berenang) atau kegiatan semacamnya. Barangkali jika diberi kepercayaan anak-anak justru bertanggung jawab ya?. Meski waktu itu bergaul dengan berbagai macam teman (dari yang baik-baik sampai pengguna narkoba) alhamdulillah, saya tidak pernah tertarik untuk aneh-aneh.
Semoga sang waktu (seiring dengan bertambahnya usai anak-anak) membantu saya menjadi lebih bijaksana.

Dienstag, April 19, 2005

Nama

Waktu mengantar Faza ke HNO-Artz (THT) menindak lanjuti überweisung dari Kinderartznya, saya sekalian minta termin untuk Fariz (kontrol rutin 3 bulanan). Dijawab oleh pembantu dokternya bahwa nama Fariz tidak ada. Kok aneh? Ternyata dia mencari berdasarkan nama belakang. Jelas nggak bakal nemu karena nama belakang Fariz dan Faza beda. Lagi-lagi saya harus menjelaskan bahwa kita nggak punya nama belakang/nama keluarga.
Sudah berkali-kali kita di sini berurusan dengan hal itu. Kadang merepotkan juga tidak punya Nama Keluarga.
Kita pernah di telpon oleh bagian admistrasi Kinderartz karena tagihan rekeningnya kembali. Dengan kata lain, nama yang dituju tidak ditemukan. Waktu itu yang terpasang di kotak pos hanya nama suBapak saja. Karena nama belakang suBapak dengan nama anak-anak beda, oleh pak posnya surat tersebut dikembalikan kepada si pengirim. Untuk menghindari berulangnya kejadian tersebut, kita pasang nama lengkap kita berempat di kotak pos.
Di sini saya dipanggil dengan nama belakang suami (Frau Buchori), sedangkan di Indonesia saya dipanggil dengan nama depan suami (Bu Imam). Lucunya, di tempat kursus dipanggil dengan nama belakang saya (Frau Nurhidajah), di sekolahnya Fariz dipanggil dengan nama belakang Fariz (Frau Afham), dan di Kindergarten dipanggil dengan nama belakang Faza (Frau Ghifary).
Keadaan ini cukup merepotkan saat perpanjangan visa. Kita punya empat nama belakang dengan huruf awal yang berbeda. Harus antri di empat pintu, yaitu pintu untuk inisial B, N, A dan G. Belakangan ada petugas baik hati, dia mau menerima semuanya (karena satu keluarga). Jika saatnya perpanjangan visa kita lihat dulu dia di mana. Tahun ini dia ada di pintu N, jadilah kita antri di sana. Alhamdulillah, semua urusan lancar, seminggu selesai dan tidak dikenakan biaya sama sekali.
Suatu kali saya lupa menjemput Faza karena keasikan memasak. Setelah ditelpon saya segera ke Kindergarten. Sampai tujuan bukannya langsung boleh pulang tapi diajak ngobrol. Ditanya-tanya, "Sebenarnya namanya siapa sih?" Rupanya Erzieherinnya bingung karena nama (belakang) Faza beda dengan nama bapaknya. Jadilah saya sedikit bercerita bahwa di Indonesia tidak semua orang punya atau mengenakan nama keluarga, kecuali untuk suku tertentu. Bukan karena Faza itu anak saya dengan suami yang lain... (bisa dikira begitu ya?).
Nama belakang adalah nama keluarga, jadi kita tidak boleh njangkar (disebut begitu saja). Harus dengan embel-embel Herr atau Frau. Nama depan sih boleh saja dipanggil begitu saja. Kadang saya dipanggil Pipin saja oleh anak-anak tetangga. Sebaliknya FaFa juga boleh njangkar, memanggil nama depan orang tua teman-temannya. Tapi biasanya untuk yang sudah akrab ya...
Kadang orang sini heran, tiga kata kok nama depan semua. Atau heran juga dengan orang yang namanya hanya satu kata saja. Orang-orang yang malang katanya, tidak punya keluarga... hehe...
Jadi, sebaiknya kita punya nama keluarga atau tidak ya?

Montag, April 11, 2005

Salzburg

-bagian akhir-
Akhirnya sampai juga di hari terakhir liburan. Tujuan kita adalah Salzburg, Austria.
Saya sendiri sebenarnya senang berjalan-jalan, melihat-lihat dan menikmati suasana kota. Tapi anak-anak sebaliknya.
Sudah terbayangkan bagaimana suasana hari terakhir ini.
Kondisi fisik tidak lagi prima (mulai terasa capeknya) obyeknya pun 'hanya' melihat-lihat kota saja. Hmm, kira-kira apa ya yang bisa menarik minat anak-anak dari jalan-jalan dan melihat-lihat ini?
Dari HBF Salzburg dengan menggunakan bus kita turun di Rathaus. Busnya unik loh, seperti bom-bom car (bom-bom bus kali ya... hehe...).
Dari Rathaus kita mulai jalan di sekitaran Altstadt. Benar saja, belum lama jalan anak-anak sudah mulai bosan. Untunglah, tidak lama kemudian kita sampai Residenz yang di depannya terdapat air mancur (saat itu belum ada airnya). Disana anak-anak sejenak mendapatkan kesenangan dengan menaikinya.
Setelahnya kita istirahat sejenak di Mozartplatz sambil membuka bekal makan siang. Hff... udara sangat panas dan sekali lagi kami salah kostum. Padahal di ramalan cuaca yang sempat saya lihat di internet hujan lho (namanya juga ramalan manusia ya...). Di depan kami patung Wolfgang Amadeus Mozart berdiri dengan gagahnya. Dia lahir tahun 1756 dan menjadi putra kebanggan kota Salzburg.
Berikutnya kita berjalan ke arah Dom. Megah sekali. Anak-anak tidak peduli. Mereka terus berjalan sambil sesekali berhenti menikmati musik dari pengamen jalanan. Wah, ada catur raksasa... asik sekali... Sayang kita tidak punya cukup waktu untuk memainkannya, padahal FaFa sudah bersemangat lho. Hei, lihat di atas sana... cantik dan megah ya? Kita ke sana yoook...
Bener deh, FaFa langsung semangat. itu adalah Festung Hohensalzburg. Sebuah benteng yang dibangun pada tahun 1077 dan sejak tahun 1892 sudah disediakan Standseilbahn (seperti lift miring) untuk memudahkan kunjungan ke sana. Hebat ya...
Dari atas kita bisa leluasa melihat kota Salzburg. Sebuah kota yang ditengahnya mengalir sungai Salzbach. Dikelilingi bukit-bukit nan menawan. Bangunan-bangunan kuno yang elok. Sungguh paduan pemandangan yang sangat indah.



Puas berkeliling (sebenarnya lebih tepat dikatakan capek berkeliling) di dalam Festung Hohensalzburg, kita kembali turun. Dilanjutkan mencari rumah tempat Mozart dilahirkan. Sempat 'nemu' toko buku tertua di Austria, Hollrigl, sejak tahun 1594. Uh, sayang banget nggak sempat masuk. Baru deh, kemudian sampai di Mozart Geburthaus. Sebenarnya yang lebih menarik adalah jalan (atau lorong) di sebelah kiri gedung kuning itu, Getreidegasse. Berderet toko-toko dengan papan nama antik.

Sebenarnya kita juga sempat mengunjungi Schloss Mirabell. Sepintas saja, karena waktu sudah pukul enam sore. Mungkin karena masih dingin, tamannya belum tampak indah. Bunga dan tanaman lainnya belum tumbuh dengan sempurna. Kolam-kolam juga masih kering.

Dan, selesai sudah kita mengunjungi Salzburg. Kembali ke Muenchen, kemudian pulaaaang...

Sonntag, April 03, 2005

Neuschwanstein

-bagian kelima-

Rasanya cukup familiar ya dengan gambar di atas?
Jika pernah menonton film Cinderella (Disney, kartun) rasanya mirip dengan istana sang pangeran bukan? Begitu pula dengan puri yang dibangun di Disneyland seperti gambar di samping, mirip bukan?
Walt Disney memang terinspirasi oleh Neuschwanstein, istananya raja Ludwig II. von Bayern, untuk membangun istana Cinderella di Disneyland.
Nah, pada liburan hari keempat inilah kita mengunjungi Neuschwanstein. Namun kali ini saya agak ragu. Apakah anak-anak bisa menikmati jalan-jalan ke Schloss? Apakah mereka tidak bosan? Apakah mereka bisa tahan untuk tidak bercanda atau berlari-lari?
Sampai di Schwangau (baca: schwan-gau) kita disambut oleh udara yang hangat. Cukup membuat kita nyengir karena salah kostum. Fariz sempat nyeletuk, "Ibuk, aku keangeten sekali..." he he... sama, ibuk juga...
Setelah membeli tiket masuk yang sudah tertera kode (untuk bahasa) dan jam untuk mengikuti Fuehrungen (Guided Tours), kita kemudian antri kereta kuda untuk mencapai Neuschwanstein. Kita tidak memilih jalan kaki yang 'katanya' memakan waktu 30 menit. Dengan tujuan yang demikian tinggi, rasanya mustahil membawa anak-anak ke sana dalam waktu 30 menit. Apalagi kita sudah terikat jam untuk masuk.
Sungguh tidak disangka, anak-anak sangat menikmati dan mendengarkan dengan baik penjelasan yang diberikan. Kita memang sengaja memilih bahasa Jerman agar mudah dimengerti anak-anak. Memasuki ruangan demi ruangan membuat saya (mungkin anak-anak juga) seperti dibawa masuk ke sebuah negeri dongeng dalam buku cerita anak-anak. Berjalan dari satu ruangan ke ruangan lain serasa seperti berjalan dari lembar satu ke lembar lain dari buku cerita itu. Perabot dengan ukiran yang rumit dan indah, dinding dengan lukisan atau gambar yang demikian halus memikat, pemandangan di luar jendela yang sangat menakjubkan, bukan main... Sangat indah... Kesan saya, Raja Ludwig II. memang gila... bisa membangun istana demikian indahnya he he...
Karena selama mengikuti fuehrungen kita tidak diperkenankan memotret, silakan buka di sini untuk melihat keindahan ruangan demi ruangan dalam istana itu.
Sebenarnya setelah dari Neuschwanstein, kita ingin naik ke Hohenschwangau juga. Tapi ternyata waktu kira turun sudah kesorean, sudah tidak ada lagi kereta kuda yang akan membawa kita turun. Yah... jalan kaki deh... (pegel bener euy!).
Sampai di bawah hari masih tanggung. Mau ke Hohenschwangau kaki udah capek banget, tapi kalau pulang kok masih banyak waktu gini? Melihat-lihat souvenir, aduh bagus-bagus bangeeet... tapi kok mahal sekali harganya. Daripada susah-susah, difoto ajalah tokonya... Cepret!! Dapet deh semua souvenirnya, tapi dalam bentuk gambar... he he...
Akhirnya kita ikut bis jurusan Garmisch-Partenkirchen untuk menikmati pemandangan yang lain (bosen juga naik kereta terus). Menyusuri kota-kota kecil di daerah pedesaan Bayern sungguh sangat mengesankan. Bangunannya yang khas, bentuk jendela yang unik, dan satu lagi... orang Bayern rupanya senang dan pintar melukis. Hampir semua rumah yang kita lewati ada lukisannya. Unik sekali...
-posting berikutnya, liburan hari terakhir-