di Vechta: Namanya juga anak-anak...

Montag, April 25, 2005

Namanya juga anak-anak...

Pengajian rutin bulan ini diselenggarakan Sabtu kemarin di kediaman keluarga Bapak Masbukin di Heinrich-Schulz-Strasse Bremen. Sekaligus memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW. Cuaca sangat cerah, tidak heran jika selepas makan siang anak-anak sudah tidak sabar untuk bermain di luar. Beberapa saat kemudian terdengar tangis seorang gadis cilik. Fiqa terjatuh dari ayunan. Sepertinya 'hanya' jatuh. Tapi anak ini terus menerus menangis kesakitan sambil memegangi tangannya. Kasihan, sepertinya sakit sekali. Karena tidak kunjung reda tangisnya, juga karena tangannya tidak boleh disentuh (jika tersentuh sedikit saja dia menjerit kesakitan), diputuskan segera dibawa ke dokter. Masya Allah, lengannya patah... dan langsung dioperasi hari itu juga. Adik Fiqa, semoga lekas pulih ya kesehatannya. Semoga keceriaanmu segera hadir seperti sedia kala. Amien.
Namanya juga masih anak-anak. Pola pikirnya masih sangat simpel. Masih sulit bagi mereka untuk menjaga dirinya sendiri. Dunia anak-anak adalah dunia yang penuh warna-warni ceria. Segala ingin dicoba, semua ingin dilakukan. Memuaskan segala rasa keingintahuan. Bertanya apa ini, apa itu. Memegang (kompor panas), menangkap (lebah), merasai (cabe rawit merah), menaiki (kucing) dan masih banyak lagi 'kegiatan' si kecil yang kadang membahayakan dirinya sendiri.
Seperti halnya Faza. Pernah suatu kali, saat saya jemput di Kindergarten matanya merah dan berair, ada sedikit luka di bagian putihnya. Gurunya bilang mata Faza terkena sesuatu. Belakangan Faza cerita kalau dia blusukan ke semak-semak. Karena musim gugur, semak itu tinggal rantingnya saja. Trus, kenapa masuk ke semak-semak Za? Jawabannya hanya angkat bahu, kepengen aja katanya... Atau saat Faza kejar-kejaran dengan Fariz. Saking semangatnya tidak bisa berbelok, menabrak pinggiran meja. Bukan hanya memar, di dahinya terbentuk sebuah kawah kecil... Atau ketika di Madurodam, jatuh di arena mini Schipol. Di dahinya tumbuh sebutir telur ayam kampung. Owalah naaak, seperti apa itu sakitnya...
Belum lama, teman Faza juga jatuh dari ketinggian hampir 2 meter. Di halaman Kindergarten ada rumah-rumahan kayu. Lantainya dibuat lubang dengan diameter ca. 1 m dan di tengahnya terpasang sebatang besi untuk luncuran seperti di pemadam kebakaran. Biasanya selalu ditutup karena tidak semua anak bisa memposisikan diri dengan aman untuk meluncur kebawah. Entah kenapa, hari itu tutup tersebut dibuka. Kasihan sekali, setelah jatuh (perutnya terlebih dahulu) dia sampai tidak bisa bersuara atau menangis. Setelah dibawa ke dokter, ternyata tidak ada hal yang perlu dikuatirkan. Syukurlah...
Atau saya sendiri pada saat umur 1 tahun. Waktu itu menjelang tidur siang. Selesai minum, saya BAB. Ibu sudah kembali ke dapur, karena setelah minum biasanya saya akan tidur. Sambil mengantuk saya berdiri dan jatuh dari Kinderbett. Pertama kepala membentur tempat tidur utama, kedua membentur lantai. Malam harinya suhu tubuh meninggi, diiringi muntah-muntah. Dibawa ke UGD, benar... gegar otak ringan. Harus menginap beberapa hari di RS. Akibatnya kepala saya peyang sampai sekarang hehe...
Tingkah laku anak-anak memang sulit diduga. Dilarangan seperti disuruh. Kesannya menjadi lebih menantang. Misalnya menaiki perosotan dari sisi miringnya, ayunan sambil berdiri, bersepeda sambil melepas stang, melongok keluar dari jendela/balkon lantai atas, dsb.
Seperti Fariz, jika sedang bersepeda tidak bisa diajak bicara. Konsentrasinya hilang. Jika bersepeda bersama temannya, meski sering diingatkan untuk konsentrasi, tetap saja sambil bergurau. Sering dia menabrak sepeda di depannya, pernah menabrak semak-semak, pernah menabrak rambu lalu lintas, bahkan pernah juga menabrak orang yang sedang berjalan dari belakang. Aduuuh, kita sampai minta maaf berkali-kali... untung orangnya baik, tidak mempermasalahkan apa-apa (padahal sakit juga lho, wong dia mengelus-elus kakinya terus).
Di sini anak-anak adalah raja. Segala tingkah lakunya benar adanya. Jika anak-anak tiba-tiba nyelonong ke jalan dan tertabrak kendaraan, si anak tidak bersalah. Tidak heran, jika di trotoar tiba-tiba Faza berlari, dari jauh pengendara mobil mengurangi kecepatan. Mengantisipasi jika si kecil ini tiba-tiba berbelok ke arah jalan.
Seperti cerita teman. Anaknya bermain sepeda dengan anak tetangga. Karena tidak bisa mengerem, sepedanya menabrak sebuah mobil yang diparkir di dekatnya, mobil baru lagi.... Teman bulenya ini kemudian masuk ke rumah dan keluar lagi bersama ayahnya. Rupanya ayahnya pemilik mobil itu. Tunggu punya tunggu, ternyata si pemilik mobil tidak juga kunjung datang untuk meminta ganti rugi mobilnya yang tergores dan penyok itu. Ketemu di jalan juga biasa saja, seperti tidak terjadi apa-apa. Ah, namanya juga masih anak-anak... belum bisa kira-kira.
Anak-anak, sampai kapankah mereka bisa disebut anak-anak? Pada posisi sebagai orang tua, apakah selamanya anak-anak kita akan selalu menjadi 'anak-anak'? Sampai umur berapakah kita benar-benar tega melepaskan mereka, mempercayai mereka? Jika beberapa tahun yang akan datang, anak-anak meminta ijin untuk naik gunung apakah saya akan mengijinkan? Sudah banyak buku dibaca, sudah banyak cerita didengar, tapi rasanya tidak semudah itu untuk melepas mereka sendirian (hehe... ibuk-ibuk, bawaannya kuatir melulu...).
Ah, saya jadi ingat ibu. Meski saya anak perempuan satu-satunya, beliau tidak pernah melarang saya untuk berkemah, naik gunung, canoeing (beliau tahu benar saya tidak bisa berenang) atau kegiatan semacamnya. Barangkali jika diberi kepercayaan anak-anak justru bertanggung jawab ya?. Meski waktu itu bergaul dengan berbagai macam teman (dari yang baik-baik sampai pengguna narkoba) alhamdulillah, saya tidak pernah tertarik untuk aneh-aneh.
Semoga sang waktu (seiring dengan bertambahnya usai anak-anak) membantu saya menjadi lebih bijaksana.