Nama
Waktu mengantar Faza ke HNO-Artz (THT) menindak lanjuti überweisung dari Kinderartznya, saya sekalian minta termin untuk Fariz (kontrol rutin 3 bulanan). Dijawab oleh pembantu dokternya bahwa nama Fariz tidak ada. Kok aneh? Ternyata dia mencari berdasarkan nama belakang. Jelas nggak bakal nemu karena nama belakang Fariz dan Faza beda. Lagi-lagi saya harus menjelaskan bahwa kita nggak punya nama belakang/nama keluarga.
Sudah berkali-kali kita di sini berurusan dengan hal itu. Kadang merepotkan juga tidak punya Nama Keluarga.

Di sini saya dipanggil dengan nama belakang suami (Frau Buchori), sedangkan di Indonesia saya dipanggil dengan nama depan suami (Bu Imam). Lucunya, di tempat kursus dipanggil dengan nama belakang saya (Frau Nurhidajah), di sekolahnya Fariz dipanggil dengan nama belakang Fariz (Frau Afham), dan di Kindergarten dipanggil dengan nama belakang Faza (Frau Ghifary).

Suatu kali saya lupa menjemput Faza karena keasikan memasak. Setelah ditelpon saya segera ke Kindergarten. Sampai tujuan bukannya langsung boleh pulang tapi diajak ngobrol. Ditanya-tanya, "Sebenarnya namanya siapa sih?" Rupanya Erzieherinnya bingung karena nama (belakang) Faza beda dengan nama bapaknya. Jadilah saya sedikit bercerita bahwa di Indonesia tidak semua orang punya atau mengenakan nama keluarga, kecuali untuk suku tertentu. Bukan karena Faza itu anak saya dengan suami yang lain... (bisa dikira begitu ya?).
Nama belakang adalah nama keluarga, jadi kita tidak boleh njangkar (disebut begitu saja). Harus dengan embel-embel Herr atau Frau. Nama depan sih boleh saja dipanggil begitu saja. Kadang saya dipanggil Pipin saja oleh anak-anak tetangga. Sebaliknya FaFa juga boleh njangkar, memanggil nama depan orang tua teman-temannya. Tapi biasanya untuk yang sudah akrab ya...
Kadang orang sini heran, tiga kata kok nama depan semua. Atau heran juga dengan orang yang namanya hanya satu kata saja. Orang-orang yang malang katanya, tidak punya keluarga... hehe...
Jadi, sebaiknya kita punya nama keluarga atau tidak ya?
<< Home